Rumput yang Menumbuhkan Harapan



Rumput yang Menumbuhkan Harapan

Di sebuah grumbul namanya grumbul Jambenom RT 01 RW 01 Desa Tlaga Kecamatan Gumelar, Kabupaten Banyumas. yang dikelilingi sawah hijau dan perbukitan hutan pinus, hiduplah Ahmad Mustofa (Tofa), anak pertama dari pasangan Kuswanto dan Setiahayani. Ahmad Mustofa (Tofa) lahir pada tahun 2013. Kini usianya dua belas tahun. Sejak kecil, Ahmad Mustofa (Tofa) berbeda dengan anak-anak sebayanya. Guratan wajahnya selalu menampilkan senyum polos, namun perkembangan kognitifnya berjalan lebih lambat. Dokter pernah menyebut Ahmad Mustofa (Tofa) mengalami keterbelakangan mental ringan.

Ketika teman-temannya sibuk berangkat ke Sekolah Dasar setiap pagi, Ahmad Mustofa (Tofa) memilih tinggal di rumah. Berkali-kali orang tuanya Kuswanto dan Setiahayani membujuknya: “Sekolah itu penting, Nak. Biar kamu bisa baca dan tulis dengan lancar.” Namun Ahmad Mustofa (Tofa) hanya menggeleng sambil bersembunyi di balik pintu. Dunia kelas yang penuh suara dan aturan membuatnya cemas. Orang tuanya akhirnya menerima, meski berat di hati.

Namun Ahmad Mustofa (Tofa) bukan anak yang pasrah. Di balik ketidakmauannya bersekolah, ia menunjukkan semangat lain yang jarang dimiliki anak seusianya: keinginan untuk bekerja dan membantu. Sejak subuh, ketika kabut masih menutupi ladang, Ahmad Mustofa (Tofa) sering bangun lebih dulu dari ayahnya. Ia menyiapkan sabit kecil dan karung goni. “Pak, kita panen rumput hari ini?” tanyanya riang.

Keluarga Kuswanto memang tidak memelihara kambing seperti kebanyakan tetangga. Mereka justru menanam rumput odot serta ubi karet di sebidang lahan yang terbatas, tidak lebih dari beberapa petak sawah, sebagai sumber penghasilan. Dari lahan sederhana itulah mereka memanen rumput yang selalu ditunggu para peternak di sekitar desa. Setiap ikatan besar rumput hijau segar bisa laku dijual dengan harga dua puluh ribu hingga dua puluh lima ribu rupiah. Meskipun jumlahnya terlihat kecil, pelanggan mereka banyak: para peternak kambing dan domba dari desa-desa tetangga yang setiap hari membutuhkan pakan.

Ahmad Mustofa (Tofa) sangat bangga dengan pekerjaan itu. Ia hafal kapan rumput siap dipotong, tahu cara memotong agar batang tetap tumbuh kembali, dan bahkan mengingat jadwal para pembeli. “Besok Pak Rasmo datang lagi,” katanya suatu malam sambil membantu ayahnya menata ikatan rumput. Matanya berbinar ketika mendengar suara Hp berdering ada telfon maupun pesan masuk lewat WA dari pembeli yang datang silih berganti.

 

Sebagai saudara, saya sekaligus tetangganya sering menyaksikan ketekunan Ahmad Mustofa (Tofa). Hampir setiap Sabtu dan Minggu, ia datang ke kendang domba saya tanpa diminta. “Pak Guru, kita panen rumput, ya?” ujarnya dengan senyum lebar. Kami pun berangkat ke sawah yang ditanami rumput pakcong bersama. Ahmad Mustofa (Tofa) memikul sabit dan membawa karung dengan bangga, seolah itu pedang kesatria.

Setelah rumput terkumpul, saya selalu menyelipkan uang ke tangannya: kadang lima ribu, kadang sepuluh ribu. Bukan upah semata, melainkan tanda terima kasih. Awalnya ia menolak. “Buat beli jajan,” saya bujuk. Perlahan ia menerima, lalu menyimpannya rapi di saku celana.

Yang membuat hati saya terenyuh adalah kegigihannya. Meski tidak bersekolah, Ahmad Mustofa (Tofa) belajar cara lain: belajar dari alam, dari kerja keras, dari kasih sayang keluarga. Ia hafal seluk-beluk musim hujan dan kemarau, tahu kapan rumput paling subur setelah hujan, dan mengerti cara menjaga tanah agar tetap lembap. Pengetahuan itu bukan dari buku, tetapi dari pengalaman yang tidak semua anak sekolah dapatkan.

Suatu sore, ketika matahari oranye tenggelam di kursi depan kendang domba, saya duduk bersama Ahmad Mustofa (Tofa).“Ahmad Mustofa (Tofa), kenapa suka sekali cari rumput?” tanya saya. Ia menatap langit, lalu menjawab pelan, “Biar Bapak Ibu senang. Biar kita bisa jual banyak dan mendapatkan uang banyak.” Jawaban sederhana itu menampar kesadaran saya: kebahagiaan sejati sering lahir dari niat tulus memberi, bukan dari gelar atau ijazah.

Kini, setiap kali melihat Ahmad Mustofa (Tofa) menuntun ikatan rumput ke pinggir jalan untuk diangkut pembeli, saya belajar arti keteguhan. Ia mungkin tak mengenal rumus matematika atau aturan tata bahasa, tetapi ia mahir mengajarkan pelajaran hidup: bekerja tanpa pamrih, mencintai keluarga, dan menemukan makna dalam kesederhanaan.

Saya yakin, suatu hari, semangat yang Ahmad Mustofa (Tofa)  miliki akan menjadi bekal besar. Mungkin ia tidak akan meniti jalan akademis seperti kebanyakan orang, tetapi jalan yang ia pilih sendiri jalan rumput dan ladang kecil adalah jalan yang jujur. Dari sana, ia menunjukkan bahwa setiap anak, tak peduli keterbatasannya, membawa cahaya unik untuk dunia.

Pesan Inspiratif

Keterbatasan bukan akhir dari harapan. Ahmad Mustofa (Tofa) mengajarkan bahwa kerja keras, ketulusan, dan kasih sayang bisa menjadi sekolah terbaik. Setiap orang memiliki cara berbeda untuk bersinar, dan kadang cahaya itu justru muncul dari tempat yang paling sederhana dari rumput hijau yang dipanen dengan hati.

Comments

Post a Comment